Ekaristi di Masa Pandemi

Sebuah refleksi bersama renungan Walter J. Ciszek, SJ

Pandemi covid19 ini memang istimewa, banyak sendi kehidupan manusia di seluruh dunia terpengaruh. Termasuk ritual agama. Sekarang kita saksikan, saudara muslim kita harus menjalani masa puasa dan tarawih di rumah saja tanpa berkesempatan sholat berjemaah. Entah bagaimana nanti perayaan lebaran.

Orang Katolik harus merayakan Pekan Suci yang dimulai dari Minggu Palma hingga Perayaan Paskah tanpa sekali pun pergi ke gereja. Ekaristi di hari Minggu, juga di misa harian, hanya dapat diikuti dari layar. Sedih luar biasa.

Ketika kita masih bisa mengikuti misa seperti biasa, perayaan ekaristi kadang menjadi rutinitas. Menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan Yesus, meski sebagai puncak dalam ekaristi tetapi kadang terjadi begitu saja. Memang ada kerinduan tetapi juga ada kepastian bahwa ekaristi itu sendiri pasti akan ada. Sesuatu yang normal terjadi. Kemudian datang pandemi ini.

Saat seperti ini, umat Katolik dapat merenungkan besarnya kerinduan akan ekaristi ini seperti yang dituliskan oleh Walter J. Ciszek SJ dalam bukunya berjudul He Leadeth Me. Renungan tentang ekaristi ini diberi judul: The Meaning of The Mass. Tentang Ciszek silakan baca link ini.

Renungan itu dibuka dengan kalimat seperti ini: Sometimes I think that those who have never been deprived of an opportunity to say or hear Mass do not really appreciate what a treasure the Mass is (hal 22). Ya, seperti kita kali ini, menjadi sensitif, menjadi sedih, dan menjadi menyadari betapa rindunya akan ekaristi. Pengalaman Ciszek tentang kerinduan akan misa suci dimulai ketika memasuki wilayah Rusia, dalam gerbong kereta barang (Boxcar 89725) bersama 25 penumpang lainnya . Perjalanan yang panjang dan melelahkan dari Lvov ke Ural melalui Vinnitsa – Kiev – Bryansk- Kaluga – Gorki – Kazan – Ufa – Chusovoy. Tidak mungkin merayakan misa dalam kereta yang penuh orang sedangkan mereka (Ciszek, Nestrow, dan Makar) tidak mungkin juga mengungkapkan jati diri sebagai seorang pastor. Hanya ketika kereta berhenti agak lama untuk bongkar muatan dan isi bahan bakar, mereka memanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk mempersembahkan misa.

Bagi Ciszek mengunjukkan misa (memimpin perayaan ekaristi atau melaksanakan misa sendiri karena seorang pastor) tidak seperti perayaan yang lain, sungguh waktu intim dengan Tuhan. Tetapi tetap saja, hal seperti itu seperti berjalan begitu saja. Hingga perjalanan ke Rusia baru terasa, betapa dirindukan, betapa diinginkan. Apalagi ketika bekerja sebagai pekerja pengangkut kayu di Pegunungan Ural. Mulai belajar mempersembahkan misa dalam hati dan penuh kehati-hatian karena banyak juga pekerja yang merangkap informan polisi. Pun di barak pekerja, mempersembahkan misa juga dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, meskipun banyak umat beriman yang rela membantu.

Benar, akhirnya Ciszek harus berurusan dengan pihak yang berwajib ketika tertangkap sedang mempersembahkan misa di tengah hutan pada saat waktu istirahat. Ciszek dikenai tuduhan sebagai mata-mata Vatikan. Dimulailah perjalanan panjang penuh kekerasan investigasi dan kerja paksa terhadap Ciszek. Terutama selama 5 tahun dalam sel isolasi penjara Lubianka,  dan 15 tahun kerja paksa.

Tentu banyak waktu untuk berdoa dalam sel isolasi, banyak waktu merefleksikan hidup di hadapan Tuhan. Bisa mengunjukkan misa dalam hati. Tulisnya: I turned to God in prayer, made frequent acts of spiritual communion throughout the day, but I literally hungered to be able to receive him once again (hal 126). Sekarang kita juga merasakan kerinduan Ciszek itu, ketika setiap misa (online) kita hanya bisa berdoa Komuni Batin.

Orang mau berkorban apa saja, melakukan apa saja asal bisa merayakan ekaristi. Pekerja (paksa) di tambang batubara bersama Ciszek, meskipun harus secara sembunyi-sembunyi, mengorbankan ransum makan untuk menjadi hosti. Ciszek dan teman-teman harus mengorbankan waktu istirahat makan siang untuk ikut ekaristi. Padahal jika ekaristi dilakukan siang hari, artinya mereka akan berpuasa dari pagi hingga saat menerima Tubuh (dan Darah) Kristus dalam ekaristi. Sebuah pengorbanan fisik yang luar biasa mengingat keganasan tambang batubara baik di musim panas apalagi di musim dingin.

Orang-orang beriman, baik pekerja paksa maupun penduduk sekitar kamp, bekerja sama untuk menyiapkan segala sesuatu agar ekaristi dapat berjalan. Ada yang membuat fermentasi buah untuk jadi anggur persembahan. Bahkan anggur itu kadang didapat dengan cara menyelundupkan bersamaan dengan pengiriman ransum makan. Sedang mengenai hosti, agak mudah didapat karena dibuat dari bahan roti makanan sehari-hari. Bacaan rohani diselundupkan dengan cara merobek buku rohani dan dijadikan kertas pembungkus. Tinggal meminta bagian dapur atau yang mengurus sampah untuk memisahkan kertas-kertas itu dari kertas sampah. Ini agak mudah karena dalam keadaan keterbatasan makanan, dengan upah sedikit makanan saja orang mau melakukan apa saja.

Misa, perjamuan ekaristi, secara sembunyi-sembunyi di kamp dengan pengawasan ketat kadang menimbulkan rasa pedih trenyuh. Tubuh Kristus, hosti yang dikonsekrir, terpaksa harus ditaruh di bawah lembaran alas duduk dan diinjak ketika penjaga datang menginspeksi. Atau harus dibungkus dengan sapu tangan pekerja, yang sudah tidak layak disebut sapu tangan, untuk mengirimkan ke tempat terpisah. Tulis Ciszek: I would go to any length, suffer and inconvenience, run any risk to make the bread of life available to these men (hal. 132).

Mempersembahkan misa dan memberkati Sakramen Mahakudus adalah asal konsolasi akbar dan sumber kekuatan, kegembiraan, dan makanan spiritual bergizi sehari-hari bagi Ciszek. Renungan ini ditutup Walter J. Ciszek, SJ begini: Life in the labor camps was Calvary for these men in many ways every day; there was nothing I would not to do for offer the sacrifice of Calvary again for them each day in the Mass (hal. 132).

Membaca renungan ini di masa pandemi begini sungguh bisa membawa pikiran kita ke kesulitan Ciszek. Pun dari pengalaman itu, juga dari pengalaman kita dalam pandemi ini, bahwa menyambut Tubuh (dan Darah) Kristus adalah kerinduan yang sangat dalam. Pengorbanan untuk tidak menerima Tubuh Kristus karena pandemi covid ini hanya dapat diterima bila kita mempunyai harapan akan hidup, harapan akan kegembiraan sejati, hidup bersama Allah di kemudian hari. Amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *