Ataraxia – Bahagia Menurut Stoikisme

Ataraxia – Bahagia Menurut Stoikisme
A. Setyo Wibowo

Resensi Buku: Ataraxia – Bahagia Menurut Stoikisme, A. Setyo Wibowo, Kanisius 2019

Hidup manusia selalu mencari bahagia. Berbagai cara dan jalan telah diperkenalkan. Bahagia itu sendiri bermacam wujudnya maka cara dan jalan yang ada juga beragam. Banyak sudah buku ditulis untuk memperkenalkan jalan pencapaian bahagia. Tapi buku yang ditulis oleh A. Setyo Wibowo, SJ ini memang lain daripada yang lain. Sebagai seorang yang mempelajari filsafat, maka diperkenalkan sejarah, cara berpikir, konsep, tokoh pengusung pemikiran stoikisme dalam alam pemikiran Yunani untuk mencapai bahagia. Tidak seperti buku-buku how-to atau guide-to yang menyajikan dengan jelas langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, maka bahasan buku ini sangat mendasar. Bahwa ada saran apa yang harus dilakukan menuju bahagia itu diberikan dalam bingkai besar pemikiran yang paling mendasar. Begitulah filsafat mengajak kita berpikir bahkan untuk hal yang sederhana, bahagia.

Paling tidak sudah ada dua buku Romo A. Setyo Wibowo, SJ ini yang memperkenalkan jalan menuju sukses dan bahagia. Arete, Hidup Sukses Menurut Platon (Kanisius, 2010) mengetengahkan bagaimana sukses dalam hidup. Sukses dalam hidup itu artinya hidup penuh keugaharian. Nah buku ini menyajikan bagaimana bahagia didapat dengan menjalani latihan menurut stoikisme.

Meskipun bicara tentang bahagia, tapi buku ini malah dibuka dengan pembahasan mengenai ‘Filsafat Sebagai Latihan Mati’ sebagai bagian dari ‘Filsafat Sebagai Laku Hidup’. Percuma mempelajari filsafat jika hanya sebagai pengetahuan teori tentang sesuatu. Filsafat harus terjadi dalam hidup, diejawantahkan dalam perilaku sebab hanya dengan begitu filsafat akan membawa manusia pada kesejatiannya. Agama juga berbicara mengenai kematian (dan kehidupan setelah kematian). Agama yang ditafsir secara ngawur oleh aliran tertentu membuat penganutnya menjadi pemuja kematian, pembunuh berdarah dingin, monster-monster bertopeng agama. Berbeda dengan filsafat yang mewacanakan latihan mati secara rasional. Filsafat menawarkan rasionalitas untuk menghadapi kematian apa adanya dan dari situ menawarkan cara menggapai kebahagiaan yang tak terlepas dari hidup berkeutamaan di dunia saat ini.

Tapi uraian filsafat tentang kehidupan yang berkeutamaan dan kematian ini tidak bertentangan dengan ajaran agama apa pun. Kita tetap bisa beragama, memegang keyakinan tentang Surga atau Neraka, sambil toleran pada fakta tanpa agama pun orang bisa pada sikap moral yang rasional dan cocok dengan keyakinan agama. Tentu filsafat, terutama filsafat Yunani memberikan arti menghadapi kematian yang berbeda dengan agama, sebab apa arti tubuh, jiwa, rasio, badan itu diberikan batasan yang sangat mendasar (dipikirkan secara mendasar). Platon misalnya menyatakann bahwa latihan mati dimaksudkan untuk membebaskan jiwa dari nafsu dan hasrat irasional yang “mengikat” jiwa kepada tubuhnya supaya jiwa bisa otonom tak tergantung pada tubuhnya berkat pertimbangan rasio.

Dalam kerangka berpikir seperti itu kaum stoik menunjukkan filsafat terutama mengenai bagaimana mesti menjalani hidupnya, manusia harus berlatih terus menerus agar sembuh dari penyakit jiwa yaitu (1) emosi negatif berupa nafsu atau hasrat berlebihan menginginkan atau menghidari sesuatu (2) emosi cara menilai yang keliru terhadap sesuatu. Jadi emosi yang tidak teratur itu adalah karena cara berpikir yang salah dan cara menilai yang salah.

Romo Setyo hanya membahas dua tokoh stoik secara cukup yaitu: Epiktetos dan Markus Aurelius. Pemikiran kaum stoic yang lain bertebaran sepanjang untuk menjelaskan arti sesuatu dari dua tokoh itu. Epiktetos diketengahkan sebagai tokoh stoickisme yang mengartikan filsafat sebagai askesis, yaitu latihan atau obat untuk menyembuhkan kesalahan dan nafsu yang muncul dari perilaku reaktif dan kebiasaan sehari-hari. Sedangkan dari Markus Aurelius disampaikan refleksi sekaligus metode untuk mengontrol diri.

Kita diminta untuk memilah ‘apa yang tergantung pada kita’ dan ‘apa yang tidak tergantung pada kita’. ‘Apa yang tergantung pada kita itu adalah apa yang ada di dalam, internal atau jiwa manusia. ‘Apa yang tidak tergantung pada kita’ meliputi tubuh, bagian tubuh, apa yang kita miliki, kehormatan, reputasi, kekayaan, orang tua, saudara, anak, negara atau siapa saja yang menjadi anggota komunitas di mana kita berada (hal 72). Semua itu sesuatu yang mungkin manusia harus gayuh tetapi benar pula bahwa hal itu tidak sepenuhnya tergantung pada upaya kita.

Setelah mengenali pemilahan itu maka perlu latihan agar hidup kita sesuai dengan Logos. Hasrat dan dorongan dari ‘apa yang tergantung pada kita’ perlu disesuaikan dengan Logos. Jika kita hidup sesuai Logos, maka kebahagian akan kita capai. Sedangkan terhadap ‘apa yang tidak tergantung pada kita’ kita tidak perlu serius memikirkannya. Latihan, askesis, dilakukan terus menerus setiap hari, setiap waktu ditujukan agar kebiasaan baik tertanam kuat dan tidak menjadi manusia yang biasa-biasa saja.

Tentu saja semua itu disajikan dalam disiplin filsafat, yang selalu bertanya dan mencari dasar yang paling dasar. Membaca buku ini tidak membuat kita mendapatkan kebahagiaan tetapi mendapatkan pencerahan bagaimana bahagia bisa dicapai (menurut stoikisme). Kita boleh tidak sependapat, memang harusnya begitu biar terjadi wacana yang sehat, tetapi membaca buku ini membuat kita paham ada banyak hal yang perlu kita pikirkan sungguh dalam hidup ini. Hal itu pun sudah dipikirkan sungguh oleh orang-orang Yunani semasa sebelum masehi.

Buku ini sangat penting untuk makin memperkaya buku-buku tentang filsafat Yunani yang dituliskan dalam bahasa Indonesia. Kita berharap banyak Romo Setyo terus mentranslasi tulisan-tulisan Platon agar semakin dikenal setelah sebelumnya sudah ada Lysis dan Xarmides.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *