Dari Tangan NKVD ke NKGB – Sebelum Masuk Penjara Lubianka

Satu cerita ini berkisah Ciszek di tangan NKVD atau polisi rahasia Rusia setelah ditangkap.

Certinya berkisar 3 hal: suasana ruang tahanan atau sel, interograsi, dan kelaparan. Ciszek cukup detail menceritakan suasana ruang tahanan awal setelah ditangkap. Dia ditahan di sebuah rumah yang diubah menjadi ruang tahanan. Tak ada yang bener tahu mengapa mereka ditangkap dan ditahan di situ. Baik yang anak muda, biasanya dianggap berandalan atau maling kecil-kecilan, karyawan pabrik, pegawai pemerintah rendahan, manajer sebuah pabrik, guru, dan berbagai macam profesi. Mereka semua sama: mengalami kebingungan mengapa mereka harus ditangkap.

Kemampuan Ciszek menerima lelucon jorok yang anak-anak lontarkan dan berbekal sedikit tembakau maka anak-anak yang ditahan satu sel dengannya menerima bahkan sedikit memberikan penghormatan. Tapi hanya semalam ditahan di situ, ketika pagi hari Ciszek dipindahkan ke penjara distrik Perm dengan naik kereta api. Penjara di Perm tidak beda dengan rumah tahanan, sel yang kecil atau tahanan yang begitu banyak membuat tekanan kepada penghuni meningkat. Sedikit saja ada senggolan yang tidak diinginkan terjadi keributan.

Tahanan keluar masuk, terus bergantian. Yang sudah dipanggil biasanya melakukan perpisahan dengan rekan-rekan dekatnya. Hampir tak ada yang sudah dipanggil balik ke sel, kecuali panggilan untuk interograsi. Entah memang dibebaskan atau dikirim ke penjara lain atau dieksekusi. Tak pernah ada cerita bagi yang dipanggil dan tidak balik ke sel. Martin, seorang tahanan yang sebelumnya seseorang yang mempunyai posisi tinggi disebuah pabrik menjadi sahabat bagi Ciszek, siang-siang sepulang dari introgasi tetiba membagi roti jatah sarapannya.

“This is for you,” he said “If you ever get out of here, try to find my wife. I know I’m going to be shot”. That night he was called out. He never returned. (hal. 66)

Begitu datar Ciszek menuliskan sebuah kejadian. Tapi bayangannya begitu mengiris hati.

Apalagi cerita tentang interogasi yang akan banyak di buku itu, yang pertama dituliskan pasti tentang detail ruangan, petugas yang menginterogasi, perlakuan atau gerakan dalam melakukan interograsi diceritakan dengan detail. Integratornya botak atau rambut lurus, mata hitam atau tatapan matanya, bentuk tubuhnya. Pertanyaan dan jawaban yang cukup menggelitik dan diulang-ulang dituliskan dengan baik. Pokoknya lengkap dan sama sekali tanpa penilaian terhadap perlakuan mereka.

Cerita tentang makanan, yang sangat sedikit dan perlu dihemat, sudah banyak diceritakan waktu perjalanan memasuki Rusia maupun menjadi pekerja kasar. Upah yang rendah dan jatah ransum yang sangat tidak cukup membuat mereka biasa berhemat. Tetapi di penjara lain lagi. Bukan cuma berhemat, juga mesti diperjuangkan karena jatah makan diberikan untuk satu sel bukan orang per orang. Sehingga setiap orang akan berusaha mendapatkan lebih dari yang lain. Tidak berlebihan tetapi sekedar lebih banyak dari teman satu sel.

Jatah makan di penjara diberikan tiga kali kali sehari dimasukkan dalam sebuah ember besar untuk setiap sel. Jatah sarapan adalah sepotong roti seberat 600 gram, air panas, dan dua kotak gula. Siang hari akan diberikan sup dengan kuah setengah liter sedangkan sore akan dapat dua atau tiga sendok minuman ‘kasha’ (kopi?). Warga sel sendiri yang harus membagi ransum itu.

Sebuah cerita tentang rasa lapar dituliskan dalam buku itu dengan sangat indah, sangat menyentuh, tapi juga bikin senyum. Jadi waktu itu Ciszek dipanggil keluar dan diminta untuk menyiapkan semua yang dia punya. (Ternyata dia dipindahkan ke penjara Lubianka). Ini penjara tersohor, hotel mewah yang diubah menjadi sebuah penjara. Tentu Ciszek tidak diberita tahu, untuk apa dia harus mempersiapkan diri. Tak banyak informasi yang diberikan. Hanya agak istimewa karena dia dikawal oleh seorang yang cukup tinggi pangkatnya (letnan, NKGB adalah pecahan dari NKVD) ditambah dua pengawal.

Ketika dimasukkan ke boks tahanan di lapangan penjara Prem, sebelum dikirim ke luar, kepada Ciszek diberikan tas kertas berisi roti utuh dan enam blok gula, banyaknya kira-kira dua kali lipat dari ransum dalam penjara. Ciszek cukup kaget dengan ini, dan tentu langsung memakan separuh roti itu bahkan sebelum pemeriksaan terakhir dilakukan. Kendaraan tahanan membawa Ciszek ke sebuah stasiun dan diberikan peringatan agar dia tidak melihat ke sekeliling. Cukup duduk di atas koper (Ciszek kaget juga bisa bertemu dengan kopernya itu).

Dimulai lah perjalanan panjang ke arah Moscow, sesuatu yang bisa ditebak Ciszek dari nama-nama stasiun yang dilewatinya. Cizsek duduk di dekat jendela dengan seorang pengawal duduk disampingnya. Sebuah perjalanan yang tepat untuk merefleksikan perjalanan yang sudah dilewati: menjadi seorang Jesuit, memasuki Rusia dengan tujuan tertentu, bekerja di Teplaya-Gora dan Chusovoy. Ketika rembang petang, Ciszek menghabiskan sepotong kecil roti tadi dan jatuh tertidur nyenyak. Di stasiun yang disinggahi, letnan dan pengawal turun dari kereta bergantian untuk membeli makanan dan minuman. Dua tiga kali seperti itu, Ciszek baru menyadari bahwa tidak ada bagian makanan (dan minuman) untuknya. Roti dan gula yang diberikan ketika di boks tahanan itulah jatahnya, yang sialnya sudah dihabiskan separuh bahkan sebelum keluar dari halaman penjara.

Rasa lapar dan pameran makanan dan minuman yang dibeli oleh sang letnan dan penjaga itu benar-benar menyiksa. Apalagi ketika ada separuh roti mentega jatuh di bawah kursi. Benar-benar menggoda. Kutipan panjang berikut ini membuat kita bisa trenyuh tapi juga senyum.

The next morning, one of the guards woke me and took me to the washroom before the rest of the passengers began to move about. I ate another piece of bread, then watched hungrily as the guards breakfasted on milk, bacon, and some white bread they had picked up at the last stop. We pulled into Kirov late that morning, and the two husky guards put away another whopping meal of fried fish, huckleberries, bread, and more milk. Again they gave me none, but no doubt they had their orders. Their constant snacks along the way, though, were making me even hungrier. I began to nibble from time to time on the bread despite the ration I had set myself.

That evening, in spite of my best intentions, I finished the loaf of bread: when I started to eat it, I just couldn’t stop, because I was so famished. I also finished the last of my sugar and licked the paper cone to get the last few grains. The next morning I was starved. One of the guards brought in from the station a breakfast of rye bread, butter, cheese, and some cups of coffee. The aroma was overpowering, and the saliva began to run down my throat as if someone had turned on a faucet. I couldn’t keep my eyes off that food all the time they were eating it, and I would have given anything to have a bite.

As we pulled into the station at Uren, one of the guards jumped up to get off the train. As he did so, he knocked a piece of bread and butter out of the lieutenant’s hand. It fell to the floor half-eaten, the butter side up. The lieutenant swore at him briefly for a clumsy ox, kicked the half-eaten bread under the seat, and followed him out of the compartment.

The temptation was too much. For the rest of the afternoon, I kept fishing under the seat with my leg, trying to make my movements as inconspicuous as possible so the guard sitting opposite me wouldn’t notice. Whenever he’d turn to look out the window or into the corridor, I’d swoop my leg around more violently until I began to get a cramp. That piece of bread now occupied all my thoughts; I spent the whole afternoon trying to retrieve it. I don’t think I ever worked so hard for a meal in my life.

At last, I felt the bread with my toe and kicked it forward. Then, when the guard would look away, I’d bend down and try to pick it up. When he’d look back, I’d pretend to be scratching my ankle, pulling up my sock, or tying my shoe. Finally, he looked back quickly and saw me reaching for the bread. I caught his eye and, in desperation, said, “Pozhalusta!” (Please!). He didn’t say anything one way or the other, just looked at me, so I snatched it up.

Just then, the lieutenant came into the compartment. I clutched that piece of bread and butter in one hand, tucked it under the elbow of the other arm, and tried to look nonchalant—at the same time wondering what the guard would say. He said nothing. When the lieutenant went out again and the guard turned to watch him go, I jammed the whole half-piece of bread and butter into my mouth and finished it at a gulp. At last I had my meal. (hal 74-76)

Kutipannya panjang, mungkin melanggar copyright tapi ini contoh story telling yang kuat dan bertebaran di dalam buku With God in Russia – Penerbit Ignatius. Silakan beli bukunya untuk menikmatinya. Apalagi cerita tentang interograsi, tentang kerja paksa di tambang batubara, tentang layanan seorang pastor, tentang kehidupan masyarakat umum di Rusia, dan masih banyak lagi. Bukunya cukup tebal 430an halaman. Tapi dijamin tidak rugi punya dan baca buku ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *