File ini tertanggal 23/07/2019, pernah tayang di katamase.id tapi hilang karena rusak ssd. Sekarang ditayang ulang lagi saja sebagai bentuk ‘yang pernah tayang, biarlah tayang’.
Korupsi seringkali dianggap istimewa, penting, bahkan ada rumusan: korupsi adalah tindak pidana luar biasa. Memang luar biasa, tetapi sadarkah kita bahwa ternyata bahkan hingga dokumen universal yang mengikat terkait hukum anti-korupsi pada United Nations Convention Against Corruption (2004) tidak ditemukan definisi dari korupsi.
Mengambil uang orangtua untuk cicilan motor digunakan untuk membeli minuman keras, itu jelas salah. Tapi itu bukan korupsi seperti menggunakan uang cicilan motor di dealer motor oleh pegawai dealer untuk keperluan pribadi. Sama-sama mengambil uang cicilan, sama-sama mencuri, sama-sama salah tetapi menjadi korupsi ketika terkait dengan organisasi bukan kehidupan pribadi. Organisasi itu bisa swasta maupun pemerintah.
Banyak kajian yang menyebutkan, usaha dagang VOC runtuh di tahun 1799 karena korupsi. Pemerintahan yang runtuh karena korupsi sudah terjadi sejak jaman Yunani Kuno, runtuhnya kota-kota maju di jaman itu juga karena korupsi. Di Indonesia, tak perlu diperjelas lagi. Korupsi mengganggu komitmen bersama menuju adil makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi apakah semudah itu mengartikan korupsi? Ternyata tidak.
Buku berjudul “Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi” karya B. Herry Priyono, terbitan Gramedia 2018 ini membuktikan. Penulis memulai menyadari bahwa belum ada literatur yang secara komprehensif mengajarkan anti-korupsi dalam bahasa Indonesia di tahun 2014. Dua tahun 2015-2016 mulai mengumpulkan, mengunyah, mempelajari bahan yang terkumpul dan mulai serius menulis di tahun 2017. Artinya buku itu baru siap setelah digarap serius selama tiga tahun. Itu pun hanya menjadi seperti harapan penulis: menemani aktivis untuk duduk sejenak, bagian kuliah tentang korupsi dan anti-korupsi bagi dosen dan mahasiswa, mengenali dalamnya persoalan korupsi bagi pejabat, politisi dan profesional, dan merawat kegelisahan bagi peneliti dan peminat. Sebuah harapan yang sangat sederhana.
Bahkan di Pendahuluan penulis menyatakan buku ini bukan panduan pemberantasan korupsi, apalagi berisi resep korupsi. Pembaca tidak perlu kecewa sebab buku ini membuka horizon tentang korupsi. Layaknya sebuah horizon, bahasan di buku ini membentang dari arti dan definisi (Bab 2), kemerosotan sebagai paham klasik korupsi sebelum masa modern (Bab 3), nostalgia dan munculnya paham baru korupsi di zaman modern (Bab 4), penyelewengan mandat dan jabatan publik di zaman kontemporer (Bab 5), pendekatan studi korupsi (Bab 6), dan korupsi sebagai persoalan moral (Bab 7). Bentangannya dari studi secara kronologis sesuai perkembangan jaman, maupun meminjam dari berbagai studi: klasik, sejarah, filsafat moral filsafat politik, teologi, politologi, ekonomika, antropologi pokoknya menggunakan ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Sungguh sangat luas.
Mengingat luasnya hal terkait korupsi yang ditulis tentu membaca secara urutan bab juga dimaksudkan untuk membentuk kesatuan dan kelengkapan pemahaman. Namun pembaca dipersilakan masuk melalui pintu mana pun. Misal bila tertarik masalah moral bisa langsung mendalami ulasan di bab 7. Namun bab 2, arti dan definisi korupsi tetap menarik untuk dibaca dan didalami terlebih dahulu. Latar belakang penulis sebagai dosen filsafat, filsuf, tentu memberikan warna sendiri. Misal mengapa mesti membedakan arti (meaning) dengan definisi (definition). Jika definisi, sesuai akar kata definire yang artinya membatasi, mengukung, mengurung dalam batas tertentu maka arti merupakan suatu konsep yang lebih luas dari sekedar definisi. Membaca buku ini maka kita akan dibawa bertamasya ke pengertian-pengertian yang semakin membuka peluang untuk bertanya. Khas filsafat, menjelaskan dengan menimbulkan pertanyaan.
Bahkan di bab terakhir tidak diberikan kesimpulan tetapi hanya diberikan judul Penutup, yang isinya ringkasan perbincangan dan kegelisahan dalam berbagai pertanyaan. Jika awal pengertian korupsi merupakan bentuk kebalikan dari nilai-nilai utama (integritas dan keandalan teruji). Kemudian sejak Machiavelli (abad ke-15/16) korupsi mulai masuk ke arena politik yaitu kebalikan dari kualitas optimal politik, privatisme politik. Penulis sendiri mengakui tidak sepenuhnya jelas bagaimana istilah ‘korupsi’ menjadi konsep dunia pemerintahan dan tata kelola organisasi. Mungkin legislasi sebagai bagian dari reformasi dan rivalitas politik di abad ke-18/19 penyebabnya: korupsi menjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hingga dari teori birokrasi modern Max Weber korupsi bentuk partikularisme (nepotisme, kolusi, patronasi, favoritisme) dalam kinerja birokrasi yang didasarkan pada universalisme (non-diskriminasi, orientasi prestasi bukan status, kesetaraan akses). Apa akibatnya?
Pengertian korupsi yang dikosongkan dari ciri sebagai konsep moral menjadikan solusi yang ditawarkan juga bersifat teknokratis. Alih-alih memperbaiki integritas karakter personal (tentu ini lebih sulit tapi bersifat mendasar) pegawai pemerintah malah menyiapkan sistem yang menjaga integritas jabatan (office attribute). Tentu karena pilihan kedua itu lebih mudah sehingga dianggap lebih efektif untuk dijalankan. Efektif juga dalam arti bisa diukur biaya – manfaat. Mungkin ini kesalahan kita bersama sehingga gerakan anti-korupsi seakan berputar-putar di wilayah yang sudah dikenali tetapi tidak bisa menghilangkannya. Perbincangan korupsi sekarang ini menyingkirkan konsep moral.
Buku dengan total pembahasan ada di 535 halaman, dengan catatan kaki sebanyak 1.762 entri, lebih dari 650 buku di Daftar Pustaka memang menantang untuk dibaca oleh siapa saja. Setiap perpustakaan kantor-kantor yang menyebut diri kantor para auditor atau pengawas (keuangan) tentu harus punya buku ini di perpustakaannya, agar mudah diakses dan dibaca oleh mereka yang tertarik. Untuk apa? Ya agar timbul pertanyaan bagi mereka yang merasa mendapatkan jawaban atas kegelisahan yang ada.