Malam itu, lebih tepat disebut sore karena penunjuk waktu belum menyentuh angka tujuh, rasanya lengkap sekali. Hawa dingin. Gelap. Hotel tempat kami menginap, entah sengaja atau tidak, tidak memasang lampu terlalu banyak di luar kamar. Kawah pasir yang sebelum gelap tadi kami lihat di bawah sana, dengan hardtop dan motor yang terlihat kecil sekali, hanya menyisakan kegelapan. Gunung Batok, bukit di samping kawah berasap putih, tak terlihat sama sekali. Memang ada kerlip lampu di sana-sini tapi apalah artinya dihadapan kegelapan yang hampir sempurna. Mana juga bulan terlihat ogah menampakkan diri.
Hawa dingin menusuk tulang. Kaos rangkap dua di balik jaket tak cukup menghangatkan badan. Rasanya bukan sebuah bisnis sampingan jika petugas hotel menawarkan sewa jaket parasut tebal. Memang sebuah benda yang sangat dibutuhkan. Apalagi oleh kebanyakan kita yang biasa hidup di daerah panas. Mereka, orang-orang Bromo, mengandalkan sarung di samping jaket atau baju hangat yang dipakainya.“Selewat jam dua belas nanti, suhu bisa sampai dua derajat (celcius pasti maksudnya)” ujar pedagang kaos tangan dan topi ponco. Ini mungkin berbau iklan tapi sepertinya mereka hanya ingin memastikan kita bisa menikmati dingin tanpa harus menderita karena kedinginan.
‘Silakan istirahat Pak, besok jam tiga kita bangunin, jam empat kita siap jalan ke Penanjakan melihat matahari terbit’, penjaga hotel mempersilakan. Badan yang memang sudah capai mengemudi melalui jalanan seperti itu, sudah kenyang pula dengan menu nasi goreng, rasanya pas sekali untuk meletakkan badan. Seteguk dua Baileys Irish Cream lewat tenggorokan juga menghangatkan perut. Berangkat tidur dengan baju berlapis dan selimut tebal, dua pula, rasanya sudah cukup hangat. Sebelum bener-benar tertidur, barulah nyata ada keheningan. Keheningan yang nyaris sempurna. Sebuah sepi yang hampir tak dijumpai di tempat lain. Sempat mengecek lubang telinga, sekedar memastikan ini keheningan bukan gangguan pendengaran. Tanpa suara serangga, tanpa suara televisi atau elektronik lainnya, tanpa suara langkah kaki, tanpa suara bincang, tanpa suara tetesan air, apalagi suara kendaraan, pun jauh di sana. Hening. Nyaman sekali. Di agak kejauhan sana terdengar pembacaan doa (sloka ?) dan terjemahannya. Awalnya terasa asing lantunan lagunya, tapi sejurus kemudian terasa syahdu mengelus hati. Oh Tuhan, betapa indahnya keheninganMU. Ingat sebuah tulisan, keheningan adalah syarat utama mengenali diri. Dalam keheningan yang sempurna yang terdengar adalah apa yang ada di hati. Rasanya benar tulisan itu. Namun upaya mengenali diri malam itu, kalah dengan tidur yang tiba-tiba menjemput.