Ini cerpen saya ikutkan dalam Lomba Menulis Cerpen Antikorupsi tahun 2019 yang diselenggarakan oleh kantor dulu, Itjen Kemenkeu, khusus untuk pegawai Kemenkeu. Cerpen ini berhasil menjadi juara ketiga. Lupa pernah dimuat di mana, dibagikan kembali di sini untuk memperingati HAKORDIA 2024.
Killed By Nazibe
Pak Pon, kami memanggilnya begitu meski yakin dia tidak lahir di hari pasaran Pon, pun etnis Jawa. Suaranya yang menggelegar, marah maupun senang, sering memenuhi ruang rapat. Jarang kami tahu beliau sedih. Jadi tak tahu apakah sedih pun akan berupa gelegar suaranya.
“Yah, tolong yah, tolong. Aku tahu Anda bisa melakukan itu yah.”
“Maaf Pak Pon, tapi itu salah. Tak bisa begitu.”
“Woi jangan mengajariku! Sekali ini saja aku minta, tolong yah. Sudah Anda pikirkan dulu jalan keluarnya. Masih ada waktu yah. Sana keluar.” Satu tepuk tangan, seperti biasa beliau lakukan, mengakhiri pembicaraan sore itu.
Temaram sore makin gelap setelah keluar ruangan beliau, tertegun depan laptop dengan layar Sublime Text[i] dengan warna-warna yang beraneka ragam, meriah.
Tak sulit bagiku memenuhi permintaan Pak Pontas. Tak sulit sama sekali. Aplikasi itu aku yang buat, aku juga yang ditunjuk jadi administrator dengan tugas mengurus teknis aplikasi. Itu memang kemampuanku. Tapi sebagai pengembang aplikasi dan sekaligus administrator, perangkapan semacam itu sangat dilarang seharusnya. Tetapi itu keputusan pimpinan sebab tidak ada orang yang mampu dan mau mengurus aplikasi itu.
***
Malam semakin melarut, pikiran melayang semasa dua puluhan tahun lalu.
“Ibu jangan marah ya” rajukku ke Ibu yang sedang menyiapkan makan malam.
“Apa nak? Ada apa lagi?”
“Ibu atau bapak besok dipanggil menghadap wali kelas. Ini tertulis di buku tugas.” jawabku sambil mengangsurkan buku tugas yang harus orang tua tanda tangani.
“Lho. Kilbi berantem lagi?
Ibu sudah pesan: jika ada yang menantang berkelahi, jangan layani. Tinggal saja. Jika ada yang merusuhimu, menyingkir saja. Jika ada menggodamu, berikan senyum saja.”
“Tidak. Bukan itu Bu.” kupotong cepat.
“Kilbi tidak mau membagi jawaban soal ujian meskipun guru pengawas menyuruh. Kilbi tetap di kelas hingga waktu berakhir dan lembar jawaban harus dikumpulkan. Kilbi dianggap tidak setia kawan. Mungkin itu yang membuat ibu atau ayah harus ke wali kelas besok.”
Ibu menghentikan kegiatan, mendekati dan memelukku, menentramkan. “Iya nak, besok ibu ketemu Bu Ratri ya. Sekarang kita makan bersama, kasih tahu Ayah makan malam sudah siap.”
Sebagai anak tunggal, aku merasa sangat nyaman di rumah. Sehari-hari belajar, membantu ayah atau ibu menyelesaikan pekerjaan rumah, bercengkerama bersama maupun asyik main komputer sendiri. Pada banyak kesempatan, ibu dan ayah mengajarku untuk berlaku jujur, berani, tapi rendah hati. Ayah tahu aku tidak begitu menikmati bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Sejak SMP aku sudah diberi komputer untuk aku pergunakan, bebas aku oprek-oprek.
Waktu itu internet masih barang mewah tetapi ayah sudah melanggankan internet di rumah. Aku pelajari cara memenangkan games dengan curang. Aku pelajari cara games komputer bekerja, baik desktop maupun online. Sejak itu bahkan mimpiku selalu masuk bermain-main di komputer, di jaringan internet, dan mengubah sesuatu di sebuah situs, atau mengalahkan lawan main games dengan teknik curang. Kemampuanku menguasai komputer dan internet semakin baik dengan banyak buku terkait yang dibelikan Ayah, maupun bahan-bahan dari internet.
Teringat, kelas tiga SMP, sangat bangga ketika sebuah situs pemerintah Amerika aku kasih warna hitam dan tulisan “Killed by Nazibe”, sebuah plesetan dari namaku: Kilbi Nazif. Tanpa memberikan banyak tulisan politis seperti sekarang biasa dilakukan oleh kelompok hacktivist. Terus kemudian dari mereka ada yang menghubungiku melalui email. Memintaku untuk memperbaiki dan memperkuat situs mereka. Ayah senang dan membantuku menjawab email itu.
“Tapi nak, kamu tidak boleh merusak”.
Jawaban emailku adalah hal-hal yang perlu mereka lakukan. Mereka berterima kasih dan memberiku laptop keluaran terakhir saat itu. Tapi pesan ayah malah yang terngiang-ngiang di telingaku: “jangan merusak”, lengkap dengan nada suara bas Ayah.
“Killed by Nazibe” beredar di situs-situs yang tidak dijaga dengan baik. Bahkan juga di aplikasi-aplikasi mobile yang keamanannya tidak diperhatikan. Sudah ratusan situs atau aplikasi, aku tidak lagi mencatatnya. Selama ini tak ada yang menyadari itu signature-ku, Kilbi Nazif. Belasan tahun lalu, terus hingga suatu saat.
***
Aplikasi yang aku siapkan itu memang melayani kegiatan lelang. Semua dilakukan transparan melalui internet. Baik pendaftaran, pelaksanaan lelang, hingga penerbitan dokumen lelang semua dilakukan melalui aplikasi. Pengguna, pemohon dan pejabat yang berwenang cukup melakukan klik pada tombol yang sudah disiapkan atau klik tanda submit. Mudah sekali.
Kelebihan aplikasi itu membuat KPK melirik untuk menggunakan aplikasi itu untuk melelang barang-barang hasil laporan gratifikasi yang dinyatakan milik negara atau sitaan dari keputusan pengadilan korupsi. Bermacam-macam barang yang dilelang: berbagai jenis kendaraan bermotor, alat rumah tangga dan perhiasan mahal, pakaian hingga benda seni seperti lukisan dan patung.
Pimpinan kantor pusatku, Cokro Tumono, ingin memenangkan lelang sebuah lukisan. Lukisan dari seorang pelukis yang sedang naik daun. Jika dilelang di galeri seni niscaya harganya akan mencapai milyar. Aku sudah cek. Namun entah mengapa harga limit yang ditetapkan hanya sekitar puluhan juta rupiah. Tentu banyak yang tertarik. Itu tadi yang diminta Pak Pontas. Aku diminta memenangkan tawaran pimpinan kantorku.
***
Kemudian ingatan melayang empat tahun lalu.
“Masih ada yang akan disampaikan?” pemeriksa dari unit investigasi itu sepertinya hendak menutup pemeriksaan. Pak Denny, pria setengah baya bertubuh subur, tapi gesit bergerak dan bertanya, ditambah barisan gigi kecil rapi dan kacamata bulat menambah angker tampilannya. Pemeriksaan yang sudah berlangsung dalam dua kali pertemuan masing-masing sekira empat jam, menjawab belasan pertanyaan.
“Cukup Pak. Tapi saya sudah mengaku dan menceritakan bagaimana cara membobol email pimpinan. Sudah saya sampaikan semua. Saya tidak melakukan hal yang merusak meskipun itu bisa saja saya lakukan. Saya akui, saya salah, tapi kesalahan saya tidak mengakibatkan kerusakan apa pun. Semoga itu jadi pertimbangan.”
“Sebentar, mengapa Anda mau mengaku sih?” sela seorang pemeriksa “bagian ini tidak masuk ke berita acara” sepertinya dia yang ditunjuk untuk menyelesaikan berita acara pemeriksaan.
“Semula saya yakin banget tidak ada yang bisa membuktikan itu dilakukan oleh saya. Bahkan tidak ada yang tahu teknik peretasan saya gunakan. Tapi melihat ada auditor, Pak Willy dan tim yang menjelaskan pada pemeriksaan kemarin, bisa mengungkapkan bagaimana teknik yang saya pakai untuk melakukan perentasan itu, sungguh mengejutkan. Mereka tinggal mengumpulkan log komputer dan aktivitas saya, maka mereka akan menemukan akun yang saya gunakan.” Aku mengambil napas dan melanjutkan.
“Auditor itu menemukan bahwa pengubahan akun dilakukan ketika mode upgrade, yang memang memungkinkan untuk mengubah attribute whenChange pada server production. Seharusnya atribut tersebut tidak dapat diubah sesuka hati. Itu cukup memberikan bukti bahwa ilmu dia kira-kira setara dengan ilmu saya. Tidak mungkin kurang. Kemudian dia menghubungkan kejadian banyaknya restart server di waktu-waktu itu, jenius itu. Saya mengaku kalah.” Waktu bilang ‘jenius itu’ aku beri tekanan khusus.
“Memang atribut whenChange dari server yang saya ubah itu berbeda dengan atribut yang sebenarnya, yang berasal dari server yang terus aktif. Perbedaan itu memicu restart server untuk menyamakan atributnya. Itu sudah saya sadari, dan saya yakin itu tidak merusak apa pun. Tapi Tim Pak Willy bisa menghubungkan perbedaan yang memicu restart server, saya mengaku kalah. Saya menyadari, di atas langit masih ada langit. Saya harus menyudahi keisengan dan kenakalan saya. Saya kapok.”
Aku menghela nafas dan melanjutkan.
“Saya melanggar perintah ibu ayah saya, itu cukup mengganggu batin. Bukan karena takut tapi karena ya itu mengganggu saja.”
Sedikit saja malam itu aku kerja dengan Sublime Text, cukup menjalankan apa yang sudah aku siapkan kapan waktu. Parameter sedikit aku ubah: jump ke angka seratus juta jika ada yang menawar puluhan juta dan akan menjadi satu milyar jika ada yang menawar ratusan juta. Tekniknya sudah aku pelajari lama, tapi baru kali ini aku eksekusi. Aku yakin berhasil.
***
Sekira sebulan dari waktu dipanggil Pak Pontas muncul berita di mass media dengan judul: “Lukisan Ktut Jalu Pambayun Capai Harga Satu Milyar dalam Lelang Gratifikasi”. Waktu itu memang aku mengirim pesan anonim kepada wartawan yang sering menulis berita kesenian dan budaya. Aku sampaikan kemungkinan lukisan Ktut Jalu Pambayun akan laku di harga satu milyar di lelang gratifikasi melalui aplikasi. Aku ingin sebanyak mungkin orang mengetahui: Cokro Tumono memenangkan lelang lukisan dengan harga satu milyar rupiah dan harus melunasi dalam waktu tujuh hari setelah lelang ditutup.
“Bapak minta supaya Pak Cokro menang dalam lelang lukisan itu. Apa yang salah?”
“Tapi yah, tak harus jauh dari harga harga limitlah. Yah, gak gitu juga khan. Susah yah, susah ngomong sama kamu. Kamu itu cuma bisa ngomong sama komputer yah. Susah.” Meskipun suaranya menggelegar tapi kali ini berakhir tanpa tepuk tangan. Hening menyergap. Tapi hanya itu. Tak ada apa-apa lagi.
[i] Text editor yang biasa digunakan oleh programmer untuk menulis program (coding), editor ini memberikan warna font yang berbeda untuk syntax yang berbeda sehingga layar komputer menjadi meriah penuh warna.
Komen dari Paman Tyo, blogombal.com (entah kenapa terjadi galat 504, padalah saya test tidak terjadi galat).
1. Pernah seorang dirut bank BUMN yang hobi fotografi melelang foto. Mahal. Pembelinya adalah beberapa pemilik usaha besar dgn NPL besar pula. Adakah konflik kepentingan di situ? Saya tak mengikuti setelah itu penyelesaian kredit macet mereka bagaimana.
2. Seorang ibu selalu mengingatkan anaknya untuk berdiri di atas kemampuan sendiri. Maka ketika dalam ijazah SD ada nilai berhitung 4, ibu itu tak marah. Namun pukulan terbesar terjadi dalam perjalanan waktu. Teman yang hobi nyontek selalu dapatkan nilai lebih bagus dari anak-anak yang disontek. Anak itu, badannya lebih besar dari rata-rata kelas, menemukan solusi: sekali duduk di depan, tapi mepet tembok, sehingga tidak menutupi anak lain, sekaligus lebih terawasi oleh guru. Juru sontek juga.
3. Saat SMP anak itu kerap mengerjakan dekorasi acara kelas dan teman. Suatu kali dia bingung ketika ditanya oleh-oleh pemilik toko yang sedang menulis nota, “Kamu maunya ditulis berapa?” Dia kira pemilik toko tidak bisa berhitung, sehingga anak itu bilang, “Ya tinggal dijumlah, Oom.” Pemilik toko marah atas kenaifan itu, “Kamu pengin mbathi pira?”
/mobile