‘Maaf Bu, gak tahan saya’
Kata-kata ini membekas sekali ketika menguburkan Robyn (O-ing), anjing beagle jantan kami.
Sekitar sebulan sebelumnya, Robyn sering terbatuk-batuk apalagi jika sehabis beraktivitas yang agak berat. Robyn memang anjing yang aktif, suka berlari-larian, seneng bila diajak jalan sejauh apa pun, gembira ketemu orang atau anjing atau kucing atau ayam yang kebetulan ditemui ketika jalan. Baginya semua itu baik dan bersahabat. Baginya segala hal itu menyenangkan. Hanya satu yang bisa mengalahkan kegembiraan seperti itu: makan.
Ya, Robyn suka sekali makan. Makan apa saja, bila itu diberikan oleh tangan kami, pasti dia akan makan. Beda dengan Kikhu saudaranya misalnya, jika mendapat makanan yang agak aneh, akan lihat dulu apakah Robyn mau memakannya atau tidak. Jika tak lihat Robyn memakannya (jarang sekali terjadi), Kikhu ikutan tak mau memakannya.
Batuk-batuk Robyn parah ketika dia berusaha mengeluarkan lendir. Kami berusaha membatasi aktivitasnya, tapi apa mau dikata: anak-anak main sepeda di depan rumah saja sudah pasti akan membuat Robyn lari ke pagar. Dan berakhir dengan batuk-batuk. Bahkan jika batuk sampai mengeluarkan dahak bercampur darah. Kasihan.
Akhirnya, Robyn kami bawa ke dokter hewan langganan kami, 3 Maret 2020. Soal dokter hewan itu khan juga soal kepercayaan, bukan lebih jago, lebih gape, lebih murah atau apa ya. Veterinair ini sudah kami kenal belasan tahun lalu, ketika Karlos, labrador kami divaksi dan diobati sakitnya. Didiagnosa, Robyn terkena radang paru, pneumonia. Kaget bercampur takut dong. Lha sedang masa virus korona begini kok ya sakitnya paru. Dokter hewannya sih bilang tidak menular. Lumayan bikin tenang, bukan apa, masih ada Kikhu, maupun Sikill dan Kili kucing yang kami pelihara. Dapat obat untuk seminggu.
Tidak susah memberikan obat ke Robyn, sama sekali tidak susah. Asal kapsul obat itu dibuka, dicampur dengan makanan, maka dengan cepat dia akan menghabiskan makanan itu, tentu obatnya juga. Seminggu ada kemajuan yang berarti, tidak lagi mengeluarkan dahak berdarah. Tapi soal ngos-ngosan, dia bernafas dengan mulut, masih saja tidak berkurang.
Obat habis kami bawa lagi ke dokter hewan itu lagi, disarankan untuk rontgen di klinik hewan terkenal yang juga tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal, 11 Maret 2020. Sekalian dirontgen, memang ada penyempitan dan paru-paru, Robyn dirawat di sana. Masuk Kamis siang, Sabtu ditengok, tujuannya ya untuk menengok saja. Tapi dokter hewannya mendesak kami membawa pulang Robyn karena takut ketika drop tidak ada yang menangani. (Hari Jumat kami dapat pesan dari klinik kalau Robyn malam itu drop hingga lidahnya biru, sehingga dipasang oksigen dan ditaruh di kamar berpendingin udara.)
Sabtu itu Robyn kami bawa pulang. Robyn tampak senang dan mengenali ketika dikeluarkan dari kandang, sudah tidak batuk, nurut, hidungnya basah (hidung basah itu tanda anjing tidak sakit). Tapi ketika dibawa naik mobil, dia berusaha pindah dari tempat penumpang ke samping pengemudi. Usaha yang keras banget, dan setelah itu dia tampak kepayahan. Sampai rumah disambut dengan baik oleh Kikhu dan Sikill, masih dengan mulut yang terbuka, lidah keluar, ngos-ngosan, dan sekali-sekali batuk. Nafsu makan masih ada sehingga mudah untuk memberikan obat.
Robyn kami tempatkan di gudang samping rumah, tempat mereka ketika masih kecil dulu atau ketika ada tamu ke rumah. Ditemani Kikhu (lihat fotonya). Dua hari tampak biasa meskipun sepertinya bertambah parah, sudah tidak bernafsu makan. Akhirnya kami konsultasi ke dokter hewan langganan, tanpa Robyn dibawa karena kami kasihan dengan kondisinya. Dapat obat lagi.
Robyn yang berbaring ditemani Kikhu yang sadar kamera.
Kami tahu, Robyn bertambah parah. Tapi kami tidak tega (juga berisiko) kalau harus membawanya ke RS Hewan di Ragunan sana. Kondisi sedang ribet virus korona, social distancing seperti ini, rasanya tidaklah elok kalau harus bawa Robyn ke sana. Kami jaga Robyn dengan baik. Makanan dimasukkan dengan spet, juga obatnya. Sekali dua dia masih minta keluar dari kandang dan jalan-jalan ke dalam rumah. Malam kami jaga, kami elus-elus sampai dia bisa tertidur sambil berbaring. Sedih dan kasihan banget melihat dia terkantuk-kantuk, tertidur dengan duduk, karena kalau berbaring dia akan terbatuk-batuk.
Sampai akhirnya, pagi hari Senin 23 Maret 2020, kami intip dari jendela kamar, Robyn terlihat tenang. Tidak ada gerakan perut yang hebat, yang menandakan Robyn sulit bernafas. Tapi kami tak mengira, setelah menyelesaikan memberi makan Kikhu, Sikill, Kili dan kami lihat di kamarnya: Robyn sudah agak kaku. Tangis meledak. Sedih dong, hidup bersama selama delapan tahun, akhirnya harus berpisah karena sakit.
Pak Karta, satpam kompleks yang membantu kami membuat lubang kubur untuk Robyn di halaman depan. Di bawah pohon belimbing, bersebelahan dengan kuburan Karlos. Ketika sudah selesai, Robyn ditaruh di lubang itu, tinggal menguruk tanah. Pak Karta komentar: maaf Bu, gak tahan saya, dengan suara tergetar. Setlah beberapa saat, penuh kesedihan kami menguruk kubur Robyn. Para satpam, seperti Pak Karta mengenali Robyn dan Kikhu karena kalau sedang keliling kompleks, pasti Robyn akan lari ke pagar, seperti memastikan siapa yang ada di luar sana.
Ya Robyn sudah tidak ada tapi kenangan melalui foto-foto-nya, melalui ingatan akan kenakalannya, aktivitasnya, melalui komentar Pak Karta itu akan melekat terus. Ini kami tuliskan setelah kesedihan lumayan terobati dan tidak ada dampak sakitnya Robyn ke kesehatan kami maupun piaraan kami semua. Terima kasih Tuhan.
Robyn, Sikill, dan Kikhu sedang bersantai
Robyn dan Kikhu di singgasana mereka
Robyn ganteng ketika di mobil dan mobil berhenti kena macet.