Sepuluh tahun yang lalu kami melakukan penziarahan ini. Artikel ini pernah dikirim ke sebuah majalah, tidak dimuat. Sepuluh tahun kemudian, lihat-lihat file dan email lama, ketemu. Baik pula bila dibagikan di sini. Pas Bulan Maria 2020 di masa pandemi
Alam sungguh memberi banyak energi positif. Alam memberi banyak permenungan atas perjalanan hidup yang sudah dilewati. Alam sungguh memberi banyak inspirasi bagi hidup yang terus mengalir. Akhirnya alam akan mampu memberikan kesadaran budi demi kualitas hidup yang lebih baik. Sebagai seorang Katolik, tentu tidak salah bila perjalanan ziarah kali ini menggunakan pedoman tempat-tempat ziarah Katolik yang sudah dikenal, mengunjungi Gua Maria. Berikut permenungan dan pelajaran pribadi yang dipetik dari perjalanan itu.
Menurut KBBI, ziarah mempunya arti: kunjungan ke tempat yg dianggap keramat atau mulia. Definisi kamus rasanya tidak seluruhnya mewadahi arti yang dimengerti oleh banyak orang. Salah satunya perjalanan ziarah adalah perjalanan untuk berhenti sebentar dari rutinitas. Kontradiktif memang, ‘perjalanan untuk berhenti’. Namun itulah yang kami rasa ketika kami memutuskan untuk menikmati perjalanan dari sela-sela rutinitas. Berhenti dari rutinitas untuk menimba energi alam bagi kebaikan, ketentraman, dan kesejahteraan hidup.
Perjalanan penziarahan dimulai. Sengaja tidak dipilih bulan Mei misalnya yang dikenal sebagai Bulan Maria atau Oktober Bulan Rosario. Semata untuk mencocokkan jadual kerja tapi juga menghindari keriuhan tempat ziarah. Keriuhan yang sering menjauhkan suasana permenungan dan doa. Sedang sepi saja, perlu usaha keras untuk bisa masuk suasana doa.
Seperti juga hidup, ziarah kali ini juga punya rencana tujuan. Biarlah Yang Maha Mengetahui yang mengatur demi baiknya. Misalnya perjalanan berkendaraan pribadi antar kota tujuan tidak benar-benar direncanakan kecuali tempat tujuan. Lihat saja kondisi tubuh, lihat saja nanti keadaan alam, lihat saja nanti kesibukan di perjalanan. Begitu kami pikirkan. “Allah Bapa Yang Maha Kasih beri kami perjalanan yang menyenangkan dan jauh dari kesulitan. Pun kami menemui kesulitan, beri kami kekuatan untuk mengatasinya.” Demikian doa pendek kami panjatkan di awal perjalanan
Hari masih benar-benar pagi, dini hari baru saja lewat, subuh baru akan menjelang, ketika kami mengawali perjalanan. Waktu juga terus berjalan seperti juga kendaraan kami tak terasa Doa Ratu Surga pagi itu sudah harus didaraskan ketika perjalanan menjelang Subang. Gereja Katolik Kristus Sang Penabur, Subang adalah perhentian pertama penziarahan ini. Pada gereja ini terdapat Gua Maria Bunda Kristus Tebar Kamulyan. Tebar kamulyan memberikan permenungan bahwa kami yang berziarah mengikuti Yesus melalui Maria Bunda-Nya, mendapatkan kemuliaan dan bisa menebarkannya ke semua orang.
Meskipun sudah dibantu dengan peta masih harus pandai bertanya tentang jalan yang harus dilalui. Peta tidak begitu banyak membantu apalagi bagi kami yang buta sama sekali soal baca peta. Ditambah kebodohan bertanya menyebabkan perjalanan memutar arah. Bertambah jauh dan lama, tapi itulah memang perjalanan yang dipersiapkan oleh-Nya bagi kami. Kota Kuningan adalah tujuan kami selanjutnya. Tepatnya di Cisantana – Cigugur dimana di situ ada Gua Maria Sawer Rahmat.
Perjalanan yang jauh dan tidak kenal medan ditambah hujan yang lebat rasanya menambah berat ziarah kali ini. Tapi selalu saja ada kemudahan juga ketika kami dapat menemukan Gereja Katolik Maria Putri Murni Sejati di Cisantana. Kang Maman penjaga gereja mengantarkan kami dengan motornya hingga dekat dengan tempat jalan salib dimulai. Tempat ini sungguh menantang dengan kontur tanah yang naik turun meski sudah dilengkapi dengan pasangan batu-batuan. Dalam penziarahan di Gua Maria Sawer Rahmat rasanya kembali diingatkan untuk bisa berbagi rahmat yang diterima dari-Nya. Jalan dari-Nya kadang sukar berat aneh tapi yakin di ujung ada kelegaan.
Hampir memasuki gelap perjalanan diteruskan untuk bisa berhenti dan bermalam di Purwokerto. Rute yang kami pilih akhirnya harus kami koreksi dari masukan seseorang yang sering melewati rute itu. “Mending memutar daripada melewati jalan yang sedang sungguh rusak.” Rasanya ini seperti hidup kami juga yang atas saran orang kadang harus menghindari kesulitan dan kerumitan. Terima kasih sarannya. Agak larut kami sudah bisa berhenti dan bermalam.
Pagi subuh, tanpa sarapan kecuali minum hangat, kami langsung ke arah Kaliori – Banyumas di sana ada Gua Maria Kaliori sebagai perhentian ketiga. Sungguh tentram rasanya memapaki jalan salib di pagi yang cerah itu. Sungguh teduh beristirahat di depan patung Maria. Dari ziarah ini kami mendapat pelajaran, Gua Maria ini tak bernama khusus, kecuali lokasi keberadaannya, kadang kami juga harus tanpa identitas khusus tapi tetap memberi arti bagi banyak orang.
Yogyakarta transit kami selanjutnya. Transit karena ada acara 1000 hari meninggalnya bapak. Tak banyak yang kami bisa petik kecuali acara berjalan lancar karena keiklasan orang-orang yang sungguh mengenal orang tua kami sebagai orang yang guyup, bersemangat, bekerja keras, dan selalu gembira. Kami menyempatkan diri ke Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus – Ganjuran di malam ketika semua acara selesai. Di kaki Candi Tyas Dalem Kristus kami merenungkan untuk siap meneladani hati Yesus Kristus yang bisa menampung semua persoalan sedih atau gembira tanpa batas. Itu perhentian keempat.
Selesai semua urusan, ketika kepenatan karena acara hilang, perjalanan diteruskan. Gua Maria Lourdes Puh Sarang, Kediri adalah tujuan selanjutnya. Perjalanan di mulai tengah hari, melewati jalan menerabas lewat Tawangmangu, Cemoro Sewu, Sarangan, Magetan, Madiun yang akhirnya ke arah Kediri melalui Nganjuk. Jalan yang berliku naik turun kadang mulus kadang rusak berat, kadang lurus kadang berkelok tanpa henti. Rasanya seperti hidup yang kami jalani, kadang nyaman kadang rumit dan sulit, tapi kami harus menjalaninya.
Kondisi tubuh akhirnya memaksa kami untuk bermalam di Kediri tidak langsung ke Puh Sarang. Perjalanan ke Puh Sarang diteruskan hingga sampai ke Gua Maria Lourdes Puh Sarang pagi harinya. Suasana yang sepi dan syahdu menambah suasana doa gampang terwujud. Mengikuti jalan salib dengan patung-patung sebesar manusia di pagi yang cerah itu rasanya sungguh masuk di hati. Tapi di Gua Maria, yang merupakan tiruan dari Gua Maria Lourdes Perancis, kami mendapatkan permenungan bahwa dalam hidup hal yang baik silakan ditiru sebanyak mungkin.
Sedikit siang perjalanan diteruskan. Sedikit informasi yang kami terima dan bantua peta yang sungguh rasanya tidak cukup membuat kami memberanikan diri menuju Gua Maria Fatima Sendang Waluyo Jatiningsih – Klepu – Sooko – Ponorogo sebagai perhentian keenam. Tidak cukup hanya sekali dua kali bertanya hingga sampai tempat yang dituju. Itu terjadi karena kami selalu terburu-buru untuk menyangka di depan itulah tujuan kami. Senyatanya tujuan kami masih ada di depan jauh sana.
Rasanya inilah perjalanan terberat untuk berhenti sejenak. Perjalanan hingga ke kaki bukit dengan jalan makadam dan perjalanan ke sendang sendiri yang terus menanjak. Tapi kami dikuatkan oleh orang-orang sekitar. “Bis saja bisa terus”. “Tinggal sedikit lagi lagi kok” Menjadikan kami yakin bahwa perjalanan ini memang harus kami lalui. Berdoa di kaki gua dan minum air sendang yang segar memberikan permenungan. Persis seperti itulah hidup manusia mulus, meliuk, bergelombang, menanjak dan menurun tajam, rusak berat tapi bila sampai tujuan rasa nyaman memeluk.
Malam itu akhirnya kami kembali ke Yogyakarta diiringi dengan hujan yang kadang deras dan gelap sepanjang jalan. Beristirahat tentulah perlu untuk mengembalikan vitalitas dan kesegaran tubuh. Masih satu perhentian lagi yang kami inginkan. Perhentian ketujuh di Gereja Maria Assumta Pakem – Sleman kami jalani pada pagi hari berikutnya. Perhentian ini tidak asing bagi kami. Tapi kami selalu menemukan permenungan baru ketika mengunjunginya.
Pada gereja ini ada Patung Ibu Maria Risang Sungkawa. Kali ini kami merenungkan bahwa dalam hidup kami kadang menemui kedukaan. Tapi jangan tenggelam dalam duka sebab dalam duka selalu akan terasa rahmat-Nya.
Sumur Kitiran Mas yang airnya jernih dan menyegarkan ada di bawah patung Ibu Maria Risang Sungkawa. Sumur ini memberikan kami dua permenungan khusus. Seperti sumur yang airnya memberikan kelegaan dan kesegaran, kami harus bisa membawa kelegaan dan kesegaran dalam hidup juga bagi orang-orang di sekitar. Seperti kitiran yang memberikan ajaran bahwa biarlah hidup kami bergerak karena angin dari-Nya semata.
Demikianlah catatan perjalanan kami dalam 2.330 kilometer melalui tujuh perhentian yang semoga memberi kami kekuatan untuk menjalani hidup kami selanjutnya. Permenungannya memberikan kami pencerahan setiap kali kami menghadapi dan mengalami kesulitan.