Kamis Putih
Memasuki Trihari Suci diawali dengan Kamis Putih untuk mengenangkan perjamuan Tuhan. Trihari Suci dikenal sebagai Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Vigili (Paskah) dan Minggu Paskah. Entah kenapa disebut trihari padahal kenyataannya ada empat hari. Mungkin karena Sabtu dan Minggu Paskah itu dihitung dan dianggap Sabtu. Padahal ya disadari bahwa Sabtu Vigili dan Minggu Paskah itu berbeda secara liturgis, tetapi yang sudah mengikuti Sabtu Vigili merasa bebas untuk tidak mengikuti Minggu Paskah. Itu pembahasan yang bisa jadi rumit. Ini tentang hal-hal yang sederhana saja.
Di Gereja St. Franciscus Xaverius Cangkringan perayaan ekaristi dipimpin oleh Romo Robertus Hardiyanta, Pr. Beliau adalah Romo Paroki Babadan, paroki induk dari gereja stasi Cangkringan. Ada yang khas dari misa Kamis Putih yaitu pembasuhan kaki wakil umat oleh pastor pemimpin ekaristi dan perarakan pemindahan Sakramen Mahakudus sekaligus tuguran, doa menemani Yesus yang berdoa di Taman Getsemani.
Kamis Putih adalah perayaan mengenangkan perjamuan Tuhan. Yesus pada waktu itu merayakan Paskah Yahudi dengan tata cara Yahudi, seperti dibacakan di Bacaan Pertama dari Kitab Keluaran. Paskah Yahudi adalah peringatan akan bulan pertama dari segala bulan, dari setiap tahun. Untuk itu harus dirayakan oleh setiap keluarga. Banyak tata cara baik pilihan kambing atau domba yang disembelih, memanggang dagingnya, pakaian yang harus dikenakan, dan lain-lain.
Dilanjut Bacaan Kedua dari Surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus yang meneruskan bagaimana ekaristi, makan minum bersama harus dilakukan, seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. ‘Setiap kali kamu makan roti ini dan minum dari cawan ini, kamu mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang (1Kor. 11:26)’. Murid-murid meneruskan apa yang dilakukan Yesus pada saat perjamuan terakhir. Inilah dasar biblis ekaristi kudus. Pada bacaan Injil yang diambil dari Injil Yohanes (Yoh. 13:1-15) menceritakan bagaimana Yesus menunjukkan teladan untuk membasuh kaki para Rasul. Ada penggalan tanya jawab antara Yesus dengan Petrus mengenai kenapa harus dibasuh kaki, bukan mandi? Ya, jika tidak dibasuh kaki bukan murid Yesus. Ya, cukup dibasuh kaki bukan mandi karena yang sudah mandi tidak perlu membasuh diri, cukup kaki.
Homili Romo Robertus Hardiyanta, Pr menekankan banyak hal dari mulai perayaan itu menjadi lengkap bila disertai dengan makan. Pada saat makan terlihat watak asli manusia: tamak atau sederhana. Satu yang mengesan: mengapa Yesus menyatakan sebuah perintah baru mengenai saling melayani, saling mencintai. Bukankah perintah di Perjanjian Lama juga sudah banyak perintah tentang saling melayani, saling mencintai? Apanya yang baru?
‘Jadi, jika Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki. Sebab Aku telah memberikan sesuatu teladan kepadamu, supaya kamu juga melakukan seperti yang telah Aku lakukan kepadamu.’ Perintah ini menjadi ‘baru’ karena bukan hanya perintah tetapi disertai dengan contoh, teladan. Yesus tidak hanya memberikan perintah tetapi contoh langsung dilihat para Rasul. Yesus mau, apa yang dilakukan, dilakukan pula oleh para murid. Kita harus saling melayani, mencintai sesama kita dengan dasar kita mengikuti apa yang dilakukan oleh Yesus untuk saling melayani dan mencintai.
Itu yang dibawa pulang kemarin sore sepulang dari gereja. Kita senang melakukan sesuatu untuk saudara kita tanpa pamrih karena meneladani Yesus. Bukan sesuatu yang kosong, tetapi ada semangat untuk meneladani Yesus, menjadi serupa denganNya, menjalankan perintah-perintahnya.
Ciao, kok jadi dalam banget begini. Maunya yang sederhana saja awalnya, tapi yawis begini saja.
Di akhir perayaan ekaristi, Sakramen Mahakudus diarak, dipindahkan ke tempat aula, tempat di mana nanti tuguran, doa semalaman akan dilakukan oleh umat. Sejak perayaan Kamis Putih berakhir gereja akan nampak muram, sedih untuk mengenangkan Sengsara Tuhan Yesus besok di hari Jumat.
Beberapa gambar yang sempat diambil.