Sebelas Januari merupakan hari yang menyenangkan bagi Pawi. Selalu pada hari itu Pawi membuat sesuatu yang istimewa. Bisa makan di luar, bisa main entah kemana, bisa hanya ke gereja pagi, atau apa pun tapi khusus dilakukan hanya di tanggal itu. Khususnya lagi karena itu dilakukan untuk Buni.
Perjalanan liburan kali ini sepertinya dilakukan karena semangat membuat sesuatu yang berbeda. Beberapa waktu yang lalu Pawi melihat kalender, mengamati, 11 Januri 2017 jatuh di hari Rabu. Pas banget. Disusunlah rencana liburan di Cangkringan. Sekalian bisa ikut misa pagi di Gereja St. Fransiscus Xaverius Cangkringan. Di gereja ini misa pagi hanya dilakukan di hari Rabu dan misa Minggu dilakukan sekali mulai jam 9 pagi. Agak siang karena sepertinya menunggu misa di Gereja Babadan selesai. Gereja Babadan adalah gereja induk dari Gereja Cangkringan. Gereja Cangkringan yang masih berstatus stasi atau wilayah dari Gereja Babadan, jadi urusan paroki masih di Babadan.
Jadi 11 Januari 2017 ini adalah hari istimewa buat Buni, umurnya sudah mencapai seksi, seket siji atau limapuluh satu. Sebuah umur yang tidak sedikit. Dari yang sudah banyak itu, sepertinya separohnya dijalani bersama Pawi. Inget mereka tahun lalu berulang tahun perkawinan yang ketiga windu, 24 tahun. Tahun ini nanti 25 tahun, seperempat abad, pesta perak. Tapi Pawi dan Buni tidak berniat untuk memestakan pesta perak. Pestanya sudah tahun kemarin: tiga windu.
Yawis jadinya pagi itu, masih pagi banget, kami – Robyn dan Kikhu – sudah dikeluarkan dari garasi, tempat kami semalaman menikmati tidur. Masih gelap dan dingin, sekitar waktu selesai subuh. Lari-lari kecil di halaman depan dan samping rumah. Seger nian. Tak lama kami kembali digiring masuk garasi. Kami tahu, pasti kami akan ditinggal. Selalu begini, jika mereka pergi dan tidak mengajak kami, kami selalu dikurung di garasi. Kami tahu diri, sebab tak kuat perasaan kami untuk loncat pagar yang tidak tinggi itu bila di luar sana ada yang menarik hati. Jika itu terjadi, kehebohan terjadi. Ribut sana-sini, panggil Kikhu Robyn. Padahal kami sedang merasakan liburan yang sebenarnya.
Mereka pagi itu ke gereja. Tentu mengucap syukur atas apa yang telah terjadi pada Buni dalam umur lima puluh satu. Syukur atas Penyelenggaraan Ilahi sehingga bisa menikmati hari sampai hari ini. Tentu boleh berharap, masih akan menjalani terus kehidupan ini hingga nanti harus kembali. Menjalani hidup yang memberikan arti pada kehidupan, pada sekitar, dan tentunya pada Allah Sang Pemilik Hidup Sejati.
Tidak terlalu lama, mereka kembali dan mengajak kami jalan-jalan. Inilah saat paling menyenangkan. Berjalan menyelusuri jalan desa, menikmati pagi, menikmati Merapi yang tipis terselimuti awan, menyapa senyum orang-orang berangkat kerja, ke sawah, atau anak sekolah berangkat sekolah.
Pagi dingin yang tidak terburu. Pagi dingin yang tidak dikejar waktu. Sambil berbincang ringan, saling memuji, atau hardikan lembut buat Robyn yang selalu mempunyai kemauan sendiri. Robyn itu sukanya hanya jalan ke depan, baik tarik ke kanan atau ke kiri, tanpa menikmati apa yang adda di sekitar kaki. Beda sama aku yang selalu menikmati setiap langkah kaki. Menghirup udara, membaui semak dan rumput, berjalan ritmis. Bila perlu berlari kecil untuk berolah raga.
Sebuah pagi yang sempurna. Sedang siang kadang kejam dengan panas yang menyengat atau hujan yang melebat.
Berikut beberapa foto ilustrasi yang tidak nyambung.
Robyn-Kikhu, melongok melihat apa yang terjadi di balik pagar.
Robyn di kiri dan Kikhu di kanan, selalu begitu jika hendak makan.
Kikhu dengan perut gendutnya.