Apa yang Terjadi Pada Konsili

Buku berjudul When Bishop Meet – An Essay Comparing Trent, Vatican I, And Vatican II karya sejarawan gereja John W. O’Malley, SJ ini terbitan Harvard University Press tahun 2019 ini sangat menarik. Buku kecil berukuran 11 x 19 cm, bercover tebal warna merah setebal 223 halaman ini membasan secara khusus tiga konsili Gereja Katolik terakhir.

When Bishops Meet

Konsili Trento (1545 – 1563), Konsili Vatikan I (1869 – 1870) dan Vatikan II (1962 – 1965) menggambarkan perjalanan Gereja Katolik meliputi masa 500 tahun terakhir hingga abad 20 ini. Konsili tersebut diadakan untuk menjawab problem yang berbeda satu sama lain. Konsili Trento lebih menjawab kebutuhan akan garis batas yang jelas antara Katolik – Lutheran (atau Protestan pada akhirnya). Vatikan I untuk memastikan ‘kuasa infabilitas’ paus di depan uskup kolega paus. Vatikan II untuk lebih menjawab kehadiran gereja pada jaman modern.

Meskipun masing-masing bertujuan berbeda tetapi Malley mencatat beberapa ketidakperubahan pada tiga konsili itu. Pembahasan itu dalam tiga bagian buku yaitu: The Great Issues dengan bab berjudul: What Do Council Do?, Does Church Teaching Change?, Who Is in Charge? Kemudian membahas peserta konsili yang dikelompokkan dalam: Popes and Curia, Theologians, Laity, dan The Other. Bagian akhir – Impact and Future, penulis mengemukakan opini mengenai What Difference Did the Councils Make? dan Will There Be Another One?

Konsili pada gereja perdana adalah pertemuan para sesepuh (panatua) agama seperti juga dilaporkan di Kisah Para Rasul. Baru pada abad kedua konsili merupakan salah satu karakter khusus dari institusi Kristiani. Sesuai perkembangan gereja yang bertemu dengan dunia Yunani maka sangat masuk akal konsili ini mengadopsi model Senat Romawi. Senat Romawi itu membentuk hukum (legislatif) sekaligus menjadi pengadilan bagi kriminal tingkat tinggi.

Konsili Nicea tahun 325 dapat dianggap sebagai konsili pertama yang menyertakan utusan seluruh dunia (kristiani). Peran Kaisar Kontantinus sangat vital baik sebagai pengundang, memindahkan tempat dari Roma ke Konstantinople (Istambul sekarang), juga menjaga keselamatan para konsiliar selama menjalankan agenda konsili. Konsili ini mencari jalan keluar kontroversi doktrin Arian yang tidak mengakui keallahan Kristus sepenuhnya.

Sebetulnya Kaisar tidak amat peduli dengan doktrin itu tetapi bahwa doktrin itu telah menyebabkan terganggunya ketertiban umum di wilayah Timur kekaisarannya. Itu merisaukan. Konstantinus membuka konsili namun menyerahkan sepenuhnya kepada para uskup konsiliar untuk mengambil keputusan dan menyatakan apa yang diputuskan oleh konsili akan merupakan hukum kekaisaran. Saat inilah mulai dikenal model ‘anathema’ atau kutukan bagi yang tidak sejalan dengan hasil konsili.

Sebetulnya hasil konsili ada beberapa model dari dekrit, kanon, hingga hukum. Artinya bisa jadi perselisihannya soal doktrin ajaran (decree, dekrit) namun diformulasikan dalam kanon dan kemudian hukum soalnya menjadi berubah. Hukum berhubungan dengan perilaku yang dapat dilihat bukan motivasi atau nurani. Rumusannya menjadi: if anyone should say such and such -or teach or preach such and such- let him be anathema, not “If anyone should believe or think such and such. Anatema adalah hukuman ekskomuniasi dari gereja yang paling berat tingkatnya.

Trento
Konsili ini dilakukan di luar kota Roma agar wakil dari Lutheran tidak merasa rikuh jika harus hadir. Waktu itu dunia Kristiani sedang sakit parah baik dikarenakan penyelewengan oleh beberapa paus maupun kuria juga oleh kritik yang dilakukan oleh Luther. Sebetulnya Paus Paulus III (1534 – 1549) mengundang untuk dilakukan konsili bukan untuk mengutuk Luther, malah seperti berkeinginan untuk rekonsiliasi dengan Luther sang reformator. Tapi keadaan perpecahan sudah sangat payah, dan keputusan yang diambil pun berlarut hingga ada tiga masa sidang, tidak tertolong lagi terjadi perpecahan gereja barat: Katolik – Lutheran.

Vatikan I
Sekitar tiga abad kemudian dari Konsili Trento, Paus Pius IX mengundang konsili Vatikan I, sebagai respon atas keadaan politik, sosial dan kultural baru akibat Revolusi Perancis pada tanggal 29 Juni 1868. Dua dokumen konsili yang terkenal yaitu Dei Filius dan Pastor Aeternus. Dei Filius bicara hubungan antara iman dan akal sebagai respon modernitas. Pastor Aeternus bicara kedudukan kepausan dan infallibility paus.

Vatikan II
Paus Johanes XXIII mengumumkan diadakannya konsili pada 25 Januari 1959 dengan dua tujuan: 1) mendapatkan pencerahan, kemajuan rohani, dan kegembiraan bagi seluruh orang kristen serta 2) undangan tulus bagi umat beriman yang terpisah untuk berpartisipasi pencarian kesatuan dan rahmat. Sebuah ajakan yang sangat rendah hati. Konsili dibuka pada 11 Oktober 1962. Vatikan II dapat dibedakan dari konsili-konsili sebelumnya karena para uskup mendengar ajakan untuk bersikap positif daripada negatif, mendoakan daripada mengkritisi atau menyalahkan. Pada konsili ini terlihat bagaimana uskup-uskup secara bersama dan bertanggung jawab bersama mengambil keputusan. Malley menulis agak panjang dengan tone yang positif tentang Vatikan II ini misalnya bahwa yang dibangun adalah hati nurani bukan sekedar ‘do and don’t’, kesadaran bukan sekedar menjalankan kewajiban.

Tentu masih ada pembahasan tentang bagaimana kaisar, paus, dan kuria (pemerintahan kepausan) dan peserta lain berperan dalam konsili. Menarik bahwa semakin ke sini maka semakin disadari bahwa konsili adalah mewakili wajah gereja dunia bukan wajah gereja Eropa, mewakili pandangan lebih banyak pihak bukan hanya sekedar pandangan para uskup.

Malley berpendapat di masa depan rasanya sulit akan ada konsili lagi mengingat sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan secara serius bagi Gereja Katolik. Vatikan II telah membuka Gereja Katolik menjadi institusi yang percaya diri dan terbuka, yang meskipun berpusat di Paus Uskup Roma namun tetap menyertakan pandangan dari uskup seluruh dunia. Ketidakmungkinannya itu juga mengingat akomodasi yang sudah tidak semudah untuk misalnya menyediakan tempat rapat untuk ribuan peserta.

Buku ini tidak menyertakan catatan kaki atau pun daftar pustaka. Penulis yang sudah menulis buku tentang Konsili Trento, Konsili Vatikan I, dan Konsili Vatikan II menyarankan untuk mereka yang berniat serius mengikuti ‘panas dingin’-nya konsili dengan segala catatannya dapat membaca buku tersebut. Tanpa catatan kaki dan daftar pustaka buku ini malah lebih enak dinikmati pembaca awam. Pembaca yang hanya ingin mempunyai sekadar pengetahuan tidak perlu berpusing atau terjebak dalam kedalaman pembahasan. Tabik.

Tunggu resensi berikutnya tentang Konsili Trento, Konsili Vatikan I dan Konsili Vatikan II. Sebentar nanti bila sudah selesai membaca bukunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *